selamat datang di my mobile blog

Margoyoso

Kecamatan Margoyoso

Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani,petani tambak,nelayan,wiraswasta dan buruh. Margoyoso dikenal dengan industri tepung tapioka,tepatnya di Desa Ngemplak Kidul.

Kecamatan ini terdapat wisata religi Makam Syekh Ronggo Kusumo (di Desa Ngemplak Kidul) dan Makam Syekh Akhmad Mutamakkin (di Desa Kajen),serta wisata alam Tambak Buntu.

Geografi

Batas-batas wilayah Kecamatan Margoyoso yaitu:

* Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Tayu dan Kecamatan Gunungwungkal
* Sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa.
* Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Trangkil.
* Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Tlogowungu.

Desa/kelurahan

1. Bulumanis Kidul
2. Bulumanis Lor
3. Cebolek
4. Kajen
5. Kertomulyo
6. Langgenharjo
7. Margotuhu Kidul
8. Margoyoso
9. Ngemplak Kidul
10. Ngemplak Lor
11. Pangkalan
12. Pohijo
13. Purwodadi
14. Purworejo
15. Sekarjalak
16. Semerak
17. Sidomukti
18. Soneyan
19. Tanjungrejo
20. Tegalarum
21. Tunjungrejo
22. Waturoyo

KISAH CINTA NAWANGSIH DAN RINANGKU


Nawangsih adalah salah secrang putri Sunan Muria yang terkenal cantik di tengah gadis-gadis pesantren. Wajarlah jika gadis itu didambakan dan dirindukan sebagai calon istri oleh banyak santri lelaki yang belajar di pesantren Sunan Muria. Hal itu diketahui juga oleh Sunan Muria walaupun tak pernah diungkapkan secara terbuka.
Sebagai seorang ayah, tentulah Sunan Muria mengharapkan seorang menantu yang simpatik dari kelak dapat dipercaya tanggung jawabnya terhadap keluarga. Namun, sebagai seorang guru atau kyai di pesantren yang banyak muridnya, Sunan Muria cencerung menaruh perhatian kepada santri yang pandai-pandai. Di antara mereka itu tersebutlah seorang santri dari daerah Pati, nama panggilannya Cebolek. Dipanggil demikian karena tubuhnya cebol (pendek) sehingga penampilannya tidak tampan (elek).
Pada suatu saat, pernah Sunan Muria menyebut­nyebut nama itu sebagai calon suami Nawangsih. Akan tetapi, sang gadis merasa sedih karena mengaku tidak mencintainya. Di pihak lain, secara diam-diam Cebolek telanjur menaruh hati.
Walaupun sudah cukup lama Cebolek mencari-cari jalan yang terbaik untuk berhubungan dengan Nawangsih, belum juga berhasil karena sang gadis itu selalu menghindari kemungkinan bertemu dengan pemuda santri itu. Gelagat atau pertanda kegagalan itu semakin kentara setelah hadirnya seorang santri bare yang bernama Rinangku, salah seorang anak Ki Pandanaran yang berkuasa di Semarang. Dalam waktu yang singkat, Rinangku yang tampan dan kaya itu sudah berhasil mendekati Nawangsih sehingga Cebolek merasa tersisih. Akibatnya, timbul iri dengki di lubuk hati Cebolek dan akhirnya berkembang niat hendak mencelakakan Rinangku.
Kebetulan, waktu itu muncul kerusuhan dari ulah para perampok di sebelah barat Gunung Muria. Banyak penduduk desa yang mengungsi ke pesantren sehingga Sunan Muria memerintahkan santri-santrinya untuk menumpas kaum perampok. Pada saat itulah Cebolek merasa mendapatkan kesempatan yang tepat untuk menjatuhkan wibawa Rinangku.
“Bapak Guru, sesungguhnya kami sudah lama berbakti dan mengabdi di pesantren ini, sedangkan Rinangku belum kelihatan baktinya. Oleh karena itu, berikanlah tugas menumpas perampok itu kepadanya, supaya dia pun teruji kepandaiannya.”
Permohonan Cebolek itu dianggap wajar oleh Sunan Muria, dan segeralah tugas itu dipercayakan kepada Rinangku. Sebenarnya, Cebolek justru menginginkan tewasnya Rinangku di tangan para perampok. Akan tetapi, tidak lama kemudian Rinangku kembali membawa kemenangan. Bahkan, sanggup mengajak beberapa orang perampok untuk bertobat dan berguru kepada Sunan Muria. Keberhasilan itu semakin membesarkan simpati Nawangsih terhadap Rinangku.
Cebolek yang merasa semakin tersisih lantas menyebar fitnah. Kepada para santri dikabarkan bahwa Rinangku pernah secara sembunyi-sembunyi memasuki kamar Nawangsih sehingga perlu dijebak agar tertangkap basah. Tindakan seperti itu jelas melanggar adat kesopanan dan akan merusak wibawa kaum santri. Kabar itu akhirnya terdengar juga oleh Sunan Muria, namun disaring-saring kebenarannya. Meskipun demikian, teguran amarah telah dicurahkannya kepada Nawangsih yang telah dengan santun membantahnya.
Demi kewibawaan pribadi Sunan maka pada suatu hari Sunan Muria memanggil Rinangku sendirian. Setelah gagal memperoleh pengakuan dari Rinangku, berkatalah Sunan dengan lembutnya, “Baiklah, Rinangku. Mulai besok engkau bertugas menunggu burung-burung yang memakan padi di sawah Dukuh Masin. Janganlah engkau kembali sebelum aku sendiri memanggilmu.”
Rinangku yang selalu patuh terhadap perintah sang Guru segera berkemas dan melaksanakan tugas itu. Selama berhari-hari dia berada di sebuah gubuk di tengah sawah untuk menyaksikan ribuan burung memakan padi.
Pada suatu siang, datanglah Sunan Muria beserta Nawangsih dan sejumlah santri hendak mengajak pulang Rinangku yang memang tak terbukti kesalahannya. Namun, alangkah terkejutnya Sunan Muria menyaksikan padinya hampir habis dimakan ribuan burung.
“Hai, Rinangku, mengapa engkau tidak mengusir burung-burung itu? Kalau demikian, padiku tak bakal bisa dipanen,” kata Sunan Muria dengan nada amarah yang tertahan. Akan tetapi, dengan santun Rinangku menjawab, “Bapak Guru, apakah salahku karena perintah yang kudengar ialah menjaga burung-burung yang memakan padi. Kalau sekarang rusak, izinkanlah Rinangku memulihkannya.”
Dalam sekejap saja, padi yang rusak itu sudah pulih kembali dan siap untuk dipanen. Namun, hal itu justru menjadikan amarah Sunan Muria tak terbendung lagi karena merasa dihinakan oleh seorang muridnya.
“Rinangku, engkau memang seorang santri yang hebat. Tetapi, tidak pantaslah engkau berpamer di hadapan gurumu sendiri. Sekarang cobalah engkau terima kerisku ini!”
Kemudian, dihunusnya keris di pinggang dengan maksud menguji ketabahan hati Rinangku. Tiba-tiba, terjadilah peristiwa menyedihkan yang sama sekali tak diharapkan siapa pun. Keris sakti di tangan Sunan Muria itu pun melesat dan menembus dada Rinangku. Terkejutlah hati Sunan Muria, dan bergegaslah beliau hendak menyelamatkan jiwa Rinangku. Namun, takdir sudah berlaku bagi Rinangku yang harus tewas di tangan gurunya sendiri.
Nawangsih tak kalah kagetnya menyaksikan kejadian itu. Dengan sedih, is segera merangkul tubuh Rinangku yang dicintainya. Sesaat kemudian, keris yang masih menghunjam dada Rinangku itu pun menyentuh perut Nawangsih hingga tewaslah bersama sang kekasih.
Sejenak, Sunan Muria termangu menyaksikan peristiwa itu, kemudian segera memerintahkan para pengiringnya untuk mengubur jenazah Nawangsih dan Rinangku sebagaimana mestinya. Kelak, makam sepasang muda-mudi yang bercinta itu dikenal dengan sebutan Punden Kramat Masin yang berarti sebuah makam keramat di Dukuh Masin.
Di sekitar makam itu tumbuhlah pohon-pohon jati yang besar-besar, tetapi tak pernah dimanfaatkan oleh masyarakat karena dianggap keramat. Konon, pohon­pohon jati itu berasal dari kata-kata Sunan Muria yang merasa heran menyaksikan para pengiring jenazah itu hanya terdiam kaku. “Wong layat kok pating jenggelek kaya jati,” kata Sunan Muria dalam bahasa Jawa. Maksudnya ialah kenapa orang mengiring jenazah pada terdiam kaku seperti pohon jati?

village atmosphere

Tatal 52

Dalam Serat Cebolek, kisah termasyhur dari Jawa itu dimulai dengan Werkudhara yang terkesima bahwa dirinya tak berarti: ternyata ia, yang bertubuh tinggi gempal, bisa masuk lewat lobang kuping ke daam wujud kecil Dewa Ruci. Ia tiba di tengah sebuah samudera agung, ruang yang tak dikuasainya, yang tak bisa ditentukannya dengan titik utara atau selatan.
“Ruang yang saya tempati, paduka, kosong dan tak terpermanai luasnya,” ujar Werkudhara kepada sang dewa.
Tapi tak lama kemudian si daif berubah. Kesendiriannya jadi awal kekuasaan. Dalam petuah Dewa Ruci, “aku”, subyek, bisa mencapai posisi yang benar ketika seluruh semesta berada dalam ampuanku. Penguasaan itu bukti bahwa manusia mahluk yang unggul, pusat makna, termulia dari segala yang jadi: manusa tinitah luwih, apan ingaken rahsa, mulya dhewe saking kang dumadi.
Dalam diri “manusia” yang digambarkan tembang Jawa inilah kita bertemu dengan subyek yang disimpulkan Descartes: ego yang berpikir, dasar yang sedasar-dasarnya yang mampu mengatasi keraguan dan keetidak-pastian. Kata penting dalam petuah Dewa Ruci adalah agar diri jadi “satu” (siji sawujud). Di luar subyek yang koheren itu, segala hal, juga tubuhnya sendiri, hanya ada secara tentatif. Yang pasti hanya “aku”.
Dan di tatapan subyek yang seperti itulah dunia tersaji bagaikan gambar –sebagai weltbild, untuk memakai kaa-kata Heidegger, dunia yang diringkus jadi obyek.
isining bumi
ginambar angganira
Demikianlah res cogitans mengambil alih peran. Subyek tampil terpisah dari dan bertahta di atas obyek. Seperti dilukiskan dalam Cebolek, ia merengkuh makro-kosmos dan mikro-kosmos sekaligus. “Engkau jadi dewa,” kata Dewa Ruci kepada Werkudhara. Syahdan, ruang pun bukan lagi khaos yang luas. Kini utara dan selatan dapat ditunjukkan.
Tak pelak lagi, cerita Dewa Ruci adalah sebuah imaji humanis. Ia menyambut kemampuan kognitif manusia untuk mengetahui dirinya, kemampuan weruh ing anane dhewe. Dengan itu manusia naik ke langit. Tanpa sayap ia merangkum seluruh jagad raya dan dirinya sendiri, sawengkon jagad raya, angga wus kawengku.
Maka aku-lah kepastian, penguasa dunia obyek, akulah pembentuk yang-lain, akulah dasar diriku.

sumber: goenawanmohamad.com

SERAT CEBOLEK

Manutoken ing tepa palupi / meksa winatu mameng pustaka / ingkang jinejer kancane / kartasura rumuhun / wonten kojah kang dadya warti / ngulama tanah Jawa / duk ing Jawanipun / Jeng Sunan Pakubuwana / Purwa dadya rerasan ambabayani para ngulama.

Saliring sarasaning ngelmi / sangking takluk mring kodrat ngaradat / kang dadya wit partutane / sruka surak kasuwur / tanpa wekas tekad binangkit / temah cacad canacad / hajuwet acucut / pasisir wetan oteran / tanah Tuban Kaji Amad Mutamangkin / nadya lawaning kathah.

Sora-saru sarengating Nabi / dhusun Cebolek bawah ing Tuban / kang dadya lok lelakune / binereg ginamurung / dening para ngalim pasisir / aja ingrusak sanak / duraka ing ratu / Sri narpati wenang niksa / jer minogka badal miyakaning bumi / bebayani ubaya.

Nanging sira Kaji Mutamangkin / datan keguh bakuh gagah / tan suminggah pakewuhe / wani ngurebi kukum / keh kang ngungkih kukuh tan kongkih / akeh ngulama prapta / manrapi pitutur / malah anginus nang nala / kilesiyangeng ing nil ingkang sawiji / ing ngaranan Sul Kahar.

Ingkang catur kikik cilik-cilik / pangarape kiki kangsa tunggal / pun lamaro dina mane / kalangkung kumalungkung / kaji Amad Kimutamangkin / wus riyen pra ngulama / mesthi katuripun / mring kang Jeng Sri  Naranata / pan wus wus katon tan kena den pituturi / mejanani negara.

Sanung wateg ngulama pasisir / dhinginaken iber-iber layang / mring para ngulama kabeh / Pajang Mataram Kedhu / ing Bagelen monca negari / sarta kang panunggilan / ing panganggepipun / tekade kang ingandheman / Ki Ceolek ngaku mukamat kakiki / wani prapteng prakara.

Duk semana oterkeh nagari / kontran wateg ngulama sadya / kakerigan ing praptani / bang wetan kyai bungsu / kawusana ing surawesthi / lawan masida sarma / myang tibanom Kudus / pangirit para ngulama / ing pasisir prapta Kartasura sami / dereng kongsi bisara.

Pan kesaru gerahnya sangaji / Prabu mangkurat ing ngriku seda / ingkang sumilih putrane / Dyanmas Prabayeksa wus / jujuluk kanjeng pangrami pati / mangkya jumeneng nata / kasusra sinebut / Jeng Sunan Seda  Nglawiyan / duk jumeneng anyar duneken prakawis / katuring Sri Narendra.

Kerik sagung ngulama pasisir / datan ana kang kaliwatan / Pajang Mataram Pagelan / monca nagara Kedhu / sipat bisa lapal sakedhik / tan kena suminggaha / dhawuh kinen ngumpul / neng dalem Kadanurejan / nulya konjuk marang Kanjeng Sri Bupati / mupakat prapangarsa.

Ing pasisir lan monca nagari / tuwin wadana ing Kartasura / sampun dadya panggusthine / sedhenge tibeng kukum / pra ngulama sanggya wus prapti / kayugung neng geladag / duk atumpuk-tumpuk / ngrenga jembangan junjunan / meh binasmi Kaji Amat Mutamangkin / ing nalika semana.

Wadana jro kang mramugareni / ing nama dyan Demang Ngurawan / kaprenah ipe sang rajeng / kang bok ayu pinundhut / Raden ajeng Supiyah dadi / Kanjeng Ratu Kencana / dyan Demang puniku / mila kandel kinasiyan / mring sang nata semana ngandikan manjing / pra prapteng ngarsendra.

Angandika Kanjeng Sri Bupati / heh Nurawan iku kaya paran / cihuwa patih ature / apa wus abiyantu / abipraya wateg ngulami / radyan Demang Nurawan / wot sekar umatur / inggih wus prapta sedaya / malah sampun pinanggihaken lan aris / rarase kang rerasan.

Estu ngelmi kang dipunraosi / Abdi dalem ngulama sedaya / kang kinerig pamanggihe satus kawandhasa mung / langkungira inggih kakalih / punika pepiliyan / den sanes ken sampun / igkang aser kalih duman / kang saduman punika ingkang pinilih / kawandasa sekawan.

Kawandasa pan pinilih malih / angsal kalih likur piniliyan / kang pinilih pethingane / mung sawelas pukulun / gangsal ingkang saking pasisir / ngulama tanah tengah / catur antukipun / monca nagari satunggal / ing Pagelen punika ingkang satunggil / majasem lan Pajang.

Pengging kemasan ing kedhung Srenggi / dene ngulama monca Negara / panamung pranaragine / pagelen Ngadilangu / ing pasisir lan monca inggih / kekalih Surabaya / Garesik sajuru / Demak Kudus ingkang tiga / kang pinilih binekta panepen gusti / sakawan Bupatinya.

Gangsal pun Wadanujadipati / ing pasisir kekalih wadan / Dipati Jayaningrate / citra soma pukulun / abdi dalem Bupati nagri / inggih pundira guna / lan priyongga ulun / sawus nyang ngabaraken sebda / wawaketé ngélmu tékad kang piningit / Kang ing nganggêp jati.

Kang sêsanga sampun mupakati / namung kekalih gusti kang nandhang / inggil kén minggah tekade / wonten kula ngulamajang / sajuga kêlayu / kêdhung gêdhé paméngakkan tadhah kukum tumutur ki mutamangkin / tyantus eka praya.

Sami ngakên mukamat kakiki / milanipun punwa danurêja / atur sumongga saparangréh / kasa dalêm sinuwun / mésêm nabda Sri Narapati / ngêndi guruné bapang / cabolék puniku / wani sangkêm mring hantaka / radén dêmang ngurawan matur wot sari / duk wau wontên marga.

Abdi dalêm gandhon kang nimbali / pun gêndhong umob lan rosa pita / pun kaji amat  samadya cabolék / wus rumaos tyasimin / badhê tampi dêduka aji / nging tan nêdya suminggah / éklas rila têrus / ngandika malih sang nata / kaya priyé rêrasané duk nang margi / umatura dén dêmang.

Sukaso kurbégja kukum pati / kina kubur sagung prangulama / néng ngabyantara sang rajéng ngadhêp néng ngalun alun / kinurmatan urutbing gêni, lék sagung wuwukiran /  kumantar murub trus /  kumêplas prapténg ngarbiyah / saking nuhu wawêjangé guru nadi / gojeni nangriyahman.

Mésêm ngandika Sri Narapati / priye bapang lamun anéng wismA / si mungatamangkin karya nora dén  dêmang umatur / ki cabolék yén wontên panti / wus bakda sêbayang / tan néndra sêndalu rêrêpén suma wicitra / kang wanahya lampah / êsang bima suci / duk gêbyar ing samodra.

Têrkadhang sêkar nyadhén lintoni / madurêtna lampah kalih wêlas / tuwin bêmara sêkaré sakêdhik  rangi kidhung, / déné jimpên sastra satunggil / kombang lampah sawêlas / namung yén linuntu bawonta lampah pat bêlas / langkung ngayang séngkéksu prandéné ugi / pun cabolék hamêksa.

Sru gumujêng jêng Sri Narapati / angandika bapang kaya paran / ing wong micara ngélmuné / têka angrib laku / ing kabudan sang Bima Suci / apané rakêsasar / rapén ing pamésu / matur nêmbah raden demang / kadi boten yen kasi kupantog ing wit / surasané ngélmu kakya.

Mung minongka samêndhêting tamsil, / kadi boten tinarus néng tekat / namung ngalapé ing dheondho / para waliyulahu / kéh kabuka si kang upaming / bima gêbyar samodra, maréntah ing guru / pandhita ing sokalima / angunangung surongga karébén sati / cipta sang mangunjaya.

Yén tan angsal kawruh ingkang sidik / têkan têlênging samodra laya / kalémbak truna gêng kang wêliwran gênjoring pupu / wêrkudara satêngah mati / kêpanggih dewa bajang, gêngi rasak kupu / mawa téja trusing wiyat / langkung kagyat kusumayuda duk myarsi / sabdané déwa bajang.

Kinén lumêbêt guwa garbaning / maganira sangking karna kiwa / wêrkudara anglêgtyasé, kamangkara yén saslun / kadi datan sedhêng jajêndhik, / krataséna pinêksa, gyamragalbéng ngriku / prapta ing jagat walikan / pan punika kaji amat pamit mutamangkin / kang minongka wiridan.

Mésém ngandika Sri Narapati / bapang atué siwa danurja / lan para punggawa gunge / rêmbug anuli ngukum / marang kaji simutamangkin / néng naglun alun ningwang / mung sijiné iku / durung dadi karasa ningwang / anuruti aturé wadana tuwin lawan para ngulama.

Krana apa kaji mutamangkin / ing ngélmu nédég anggo priyongga / tan ngajak ajak wong akéh / ngélmu mangkono iku / lamun nora nêlukên jalmi / datan aprung sak sarak / kanggo dhéwé iku, / ing suk pantês angapura / lamun kaji mutamangkin babar ngélmi /  mamrih tinurut kathah.

Sarta katon kéh kang manjing murid / iku sêdhêng tompa ukum ing / widyan dêmang nembah aturé / lêrês  karsa sapukulun / angandika malih sang ngaji / wis ngurawan mêtuwa, dhawuhna préntah sun / duduka mring pranayaka / pêpakêna anéng kêpatiyan injing / nêmbah demang ngurawan.

Wêdalira sangking byantara aji / animbali kalih punakawan / ingkang dinut paring wroh / mring kapatiyan lamun / bénjang ngénjang pêpakna sami / wadinajo lan jaba / lan ngulama sagung / pukul sanga prapta ningwang / néng danurjan angêmban dhawuh sang ngaji / dutadi winêmbah méntar.

Prapta kapatiyan atur unin / réh nang dinuta mring radén dêmang / rahadyan dipati agé / paréntah angungumpul / para watég manggala tuwin / sagung para ngulama / lastri tan winuwuns / yata énjing sami prapta / prawadana kalawan para ngulami / pêndhapa kepatiyan.

sagala nilén majêng mangétan / para wadana lênggaha /  anéng wétan sêdarum, déné kanjeng radén dipati, anéng téngah / Sawatara megung / mangilen ing tajengira / tangur mati dhumateng para tulami/ cumungkling pukul sanga.

Rawuhira raden demang mundhi / dhawuh dalem sapang ngedhak lira / niyaka wulana kateh / dyan dipati tagupuh / ngancarani lenggah pendapi / wus sira tata sang bya / palenggahanipun/ raadyan demang ngurawan sapang dhodhok kelawan raden dipati soring singgup pandawa.

Andhawuhaken timbalani pati sira rahaden demang ngurawan pan warwita diknetrane / sagunge kang karungu/ prawahaga parangu lami / kumepyur manahira / telase kang dhawuh / radiha ngapyuk deduka / sawuse sira dedukane nribupati / dipati manupaja.

Aturira sandhika anuli / lenggah nglengger gegettun sedene semunya / prabu pati pucet kabeh / lungguhira tumungkul weng bendhu / kicabole klayap-klayap / niring cahya yayah dalu wangwinawing/ lir wus mangkad sekarat.

Tawuwus samad ketip tarunni / solah nyali menjangan ketawan / mipit-mipit walikote / netra sumyak kadulu / wingwinawing ngamurup mawerdi / lir wantah angrak rura / maambek gugul agul kumyas swanita sudrisa / tawira ganalih nganan noleh ngering / kambyat tumungkul samya.

Mastibanom bangun nalih-nalih / mimba sudiran nireng wardaya / amurgani wira mano netepaken surbanipun / jubahira winingkis wingkis / mingset maju rong jengkang / ketibanom kudus / wus monces saking ngakantrah / solah kang gaswiji / lekangsat dataries / karya cingak ing kathah.

Pun anom anuwun duka kamipurun anyelani / ing deduka sri narendra / kang cumawuh dyan dipati / radika lintukedik / saknalika duk angrungu / kagyatrata den demang / ngurawan megung talinggih / ngajengaken mastibanom kang micara.

Astanira malangka dah mangkoron liswane ngrandan kang jajar manguntar-nguntar mangulat-ulat lir agni / kumerket maju gatik / menggah menggah ngunjung batu/ getere kang mulat / Punggawa kang samdya masapwi mastibanom mulat dyan demang ngurawan.

Kang samya wawan wicara/ dangu angok silih ungkih / animpuna ngaduyasa / kaprawira mrih titih / titikaning ngakrami / ing pan wikarama ngundangan / maken drama pangeran / yen menggahaning ngajurit / ramededer dikeder hideran.

Tahor kang warangulama / pandhengkule pada tangi / tuwih kang para wadana / bangun kagyat dukmiyarsi / mring kang lumawar angling / masketib banongling kudus / kelawan raden demang ngurawan ngandika wengis / saking ngendi sira narko kaluputan.

Dudukane sri narendra kang dumawuh mring mapatih / mastibanom aturira inggih gramung kirang wit / wiwindih ing prakawis / wiladyan dipati matur / wit saking prangulama / ingkang darbe atur sami/ wus santosa panggusthi padheg ulama.

Upamine tunuruta / purwane ingkang prakawis dudu kadalem narendra / dhumateng para ngulami / rahaden adipati / sates tumut-tumut/ tegese atur kula sadaya para ngulami / ingkang tampi dudukane sri narendra.

Gumujeng rahaden demnag ngurawan angentrok wentis / nebdalengga ing tyas singw nag oleh mungsuh kaum lanji / wantir wani tohpati / tambarek bias kaluruk / sawangane sembada / yen janeng wa wiring  kuning / mubal putih tambarek pindho garuda.

Lahiya ingsun kewala / kang dadya wakil sangaji / aduduka marang sira / yapa gene prangulami / taweh ruwet nagari / guwurura ngoning ratu/ ujar during sembada matur marang tuwa patih / tapa amrih dudune para ulama.

Gawe tontonanning praja / ngepami dalajad rumi / rampung dukane narendra / ketibanom matur aris/ langkung nuwun kapundhi / duka dalem kang cumawuh / dhumateng prangulama / nanging taking dasih sami / langkung saking tebih niyat kang mangkono.

Ngrunu bedim ring narendra / lamun klepas sanasami lahir batin srurumeksa / sasaget-saget tingalit/ kuwajibaning urip / sami rumeksa ing ratu/ karaharjaning praja / angimani tanah jawi / mangka wonten pratingkah saru katingal.

Sakupami kelajengan datan wandem prepeki / agempil derajating praja tamaren tekde nulari / pinanggih datan kenging / angangge pribadenipun abdi dalem sadaya / yen miyarsa gampil kang nebihaken / saking sundatul sumungah.

Dherekal lan sami ratap / kelayune sifat kuping / adipati jayaningrat / amesem sarwi / anjawil marang ki arya noruh / metoni ika mantumu / wani deder wicara / tekadatan uwas uning / lan rade Dêmang ngurawan.

Yen manungsa jamak lumeh / mesthi tan bisa cumuwit /  pinandêng lan raden demang / sasat kalalen murti /  winulat gégirisi nadyan / dadyan mralaya kusuma iku mésém muwus iriban /Asta tumawang liangri / nadyan kula sanak tur sami wadana.

Supradênê kêrataban / tyas amba lamun kepanggih / kadi unginga ing macan / Sênadyaning Ponconiti / yên nuju sénén kemis / ngaglar punggawa gung ngagung /  yên kakang emas liwat /  tuwin minggah ponyule niti / sipap samnya tagnana purundya wara.

Pikirê sami was-uwas / lirang ngeman nawanga lirik / dênê taboten kéjamak / Delajate ngaluluwihi / kakang mas mangku bumi / duk wontén ing purwa lulut / nambut karya jropura/ bubuhane dén parani / pinariksa mring kang mas dêmang ngurawan.

Sakêdap sêbari liwat / labete anggégétiri / manah teksih terataban / kang mas brata mangku bumi / lajeng marani mami /  angandika tutur-tutur /  marase sadêrêng ical / Keketeb mekasih kétawis / sumar-sumar angandika pegat-pegat.

Kula ngaturi poyokan / mring kakang mas mangku bumi / paduka kadi kawula / mring rayi dyan dêmang ajrih / mongsa wontena ugi / andhendha mring kadang sêpuh / ngandika kakang emas /  lah dênê pepadon yayi / sinten wong ngekang wani mring yayi dêmang.

Adhi mas mlaya kusuma /  datanyan awak bumi / pun adhi lurah mariksa / marang peng gaweyan bumi /  sundatan darbe getih / ayana lamun dên sêndhu / tujunê adhi lurah / mung liwat bari ngesemi / Bungah sasat bakal atoma paganjaran.

Tur puniku kadang tuwa / kakang mas mangku bumi / dênê sentana langsaran / sentana pameran yekti / prandênê langkung ngajrih / mring kang mas demang puniku / dênê kaliwat-liwat / dlajate bang ngaluluwihi / mung wong kudus kang wani lawan dicara.

Mangkê yên boten kadukan / ketibanom yata luwih / saking guna srana bisa / Jayaningrat adipati / nebta abisik-bisik / Si Amat inggih tiyang puniku/ yen lagyantuk ganjaran / kanugrahaning Hyang Widi / sampun ingkang kadidyan dêmang ngurawan.

Sarwa-sarwi basembadya / sumbaga prata mengkudi / dhasar wahya ing Narendra / senandyan tiyang tik-utik / lamun labima ngaletik / ksrambahan sih ing ratu / kawula namung darma / mongko tuladaning ngabdi / dipun samya marsudi ngereh kautaman.

Supaya dipun angêp / kapareka ing Nerpati / kasiram gengnging prabawa / wau takang wawan    angling / dangpu asilih unggih / adêdêr dinêdêr mrih tanbuk / nimpuningadu yasa / ketibanom datan kalih / sinegrangan mrari dyan dêmang ngurawan.

Ketibanom aturi rira / angger paduka manawi / anetah para ulama / bilih datan mituturi / mring kaji mudamangken / muni kapaduka dangu / sami aprang wadana / kawula kêmam dhatengi / apitutur yegah / saruning pratingkah.

Nêdha dikasumatura / kaji Amat samat mutamangkin / mumpung neng ngarsa bentara / puniki gonentoh pati / ki cabolek nauri / layab-layab anganga lentuk / inggih yektos pun anak / andhatengi mituturi / nanging kula tekeng bila itane salak.

Saking bodhone pun paman / mung wulang guru kaesti / ingsun kumaya bike walat / tan saget mrih surat malih / manah kêdah nêtêpi / ketibanom angling sedhu / lah iku pikir tapa / anyeyengit sipayakit/  nora pisan angurus raras / ing sarak.

Angger sergalan juga / ing ngaran pun kamaroden / kangangger nama punkatar / gumer kang sam / miyarsi / raden dêmang annuli / ngenton wintis sarwi guguk  ketibanom maneb / den kini kuboyo besik / demen temen dadi guguyon nagara.

Wong kudu amulang sarak / ambêk ket angluluwihi / aja anggur ing pratingkah / bêdholan gunung merapi / elih tengarang sumbing / sundara tumpang ngalawu / tidhar sangganen tangan / sebarang penggawe iki / ngaka liwat-liwati / pang saking sarak.

Ayengngel sawenang-wenang / asune pina dhajalmi / lawan pangulu ing Tuban / dulkohar asune malih / pigadha jeneng ketib / sika marodin puniku / dudu wong têmên sira / nerasak ratu ing ngelis / sejatine pangertimu ngudubilah.

Angger pramila kawula / purun matur marang patih / konjuk Sri Nara dibya / supados ngentar ngawarti / ingkang ngarus kapiyasi / inggih anaman ning ratu / lamun nêbihana / marang sarak / kejeng Nabi / kasaksaraical suraosing sastra.

Angger kanggo kocaping kitab / inggih Si Amat amirul salatin /  ngrenggah ing Nara Nata / tetep pepangkuning bumi / badal dakiling widi / wenang ganjar lawan ngukum / mila lamun wontena / Ratu nimpang sre.

Nguranguru kang lampah narpati / tanpa memanis angrerus / marang prawan dadya mesum tan prak anang / tamngupumang la bumi / tumuk pratan mawelu / tanpo teko mirbac ramya / sami rumek satir bumi / sejatine narpati katine jagat.

Sami lan atine taranya / punika kang sakpuweni / sayogya nora ngagesang / pumeksa tadan mungtali / pramila ugi / wajib rumeksa ing ratu / mobah mosing lijagat pakaryaning karapati obah ira ing badan.

Kalepataning narendra sinanandang ing wong sabumi / jeng ratu panwaming jagat manah rusak / badan sarik yen tan enggal / nelutuh neluh mring ratu radhan demang wurawan siwakep sarwi seleh trisa / natdah marang raden dipati dhan urja.

Mapati kula kan saren / pun kudus bodsan talanni bisa amrep basa/sabete depast titis / salin dapur runiki / dara dalem kedhumawah / inggih dhateng sunuwa / pun kudus ingkangnageni / nang gulung pram ngajer lelayu daludan.

Wong gagah mboten giyabah/wong trampil datan ngaruwil / wani ngamuk boten mamak / tekat kula aningali / paspati apatiten / gitik serute / mboten saru/ sudihya ing ngalaga / Asasi kituwi atin / datan neng wetan dados kunsulupingat.

Iku siwong tina raja / sawitis tur solahe marakati / datan kenging tina raja / tan keron den kanan kerin / rinuwak maremaken/ ing ngomberan bindur samabur / gawat kaliwat liwat / amungsuh wong kudus iki / sajek dereng nate kasurang.

Raden walaya kasuma / matur sarwi awot sari / kang mas padhuta sok sokan / pikowon tulakang napi / duk lecul tandhing ngupit / temah kang mas den sepuluh / gumujeng prawadhana / luwaran saking prihatin / prangulama krejet krejet darbe bingar.

Raadyan demang purawan / angandika sarwo nolih / adimas mlaya kusuma / destun kulato teng ngimpi / prapto nemu penggali / ngendherek mulih ngendhuruk uwopatih kawulo / matur srinarapati / pan sadaya inggib sami ngentosono.

sumber: alangalangkumitir.wordpress.com

Mbah Mutamakkin dan desa cebolek

Mbah Mutamakkin adalah seorang ulama yang berasal dari Tuban, Jawa Timur. Di kampung asalnya, beliau juga dikenal dengan nama “Mbah mBolek”, sesuai nama desanya yaitu Cebolek. Nama “Mutamakkin” yang bermakna orang yang meneguhkan hati atau yang diyakini akan kesuciannya konon adalah gelar yang diberikan kepada beliau seusai dari menuntut ilmu dari Timur Tengah.
Garis keturunan Mbah Mutamakkin dari bapak adalah Sultan Trenggono (Raja Demak III tahun 1521-1546) yang bertemu dengan pada silsilah Raden Fatah (Pendiri Kerajaan Demak 1478-1518). Dari Ibu, keturunan Sayid Ali Bejagung, Tuban Jatim. Sayid Ali ini mempunyai putera bernama Raden Tanu, Tanu ini mempunyai seorang puteri, yakni ibu Mbah Mutamakkin.
“Sumohadiwijaya” adalah nama ningrat Mbah Mutamakkin. Putera Pangeran Benawa II (Raden Sumohaidnegara) bin Pangeran Benawa I (Raden Hadiningrat) bin Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Ki Ageng Pengging bin Ratu Pembayun binti Prabu Brawijaya. Ratu Pembayun adalah saudara perempuan Raden Fatah. Istri Jaka Tingkir adalah Putri Sultan Trenggono bin Raden Fatah.
Diperkirakan beliau hidup sekitar tahun 1685-1710. Konon, sepulang dari Timur Tengah, Mbah Mutamakkin tidak langsung pulang melainkan pergi ke daerah utara Pati. Beliau tinggal di Cebolek di sebelah utara desa Kajen.
Terdapat pula cerita yang berkembang di masyarakat setempat (foklor) menyebutkan, sepulangnya dari menunaikan Ibadah haji, beliau menaiki jin. Tiba-tiba di tengah laut, oleh jinnya, beliau dijatuhkan di tengah laut. Kemudian beliau diselamatkan “Ikan Mladang”. Beliau dilemparkan sampai di suatu tempat. Tempat tersebut dinamai Desa Cebolek.
Ada dua versi tentang asal usul desa ini. Pertama adalah dari kata “ceblok” (jatuh), dan kedua “Jebol-jebul melek” (tiba-tiba membuka mata). Di Cebolek, Pati, beliau tinggal.
Suatu malam, Mbah Mutamakkin melihat sinar yang terang di langit. Karena heran, kemudian beliau mencari dari mana asal sinar tersebut. Ternyata sinar tersebut adalah sinar K.H Syamsuddin, pemangku Desa Kajen yang sedang melaksanakan shalat tahajjud. Tidak banyak cerita yang berkembang, kemudian Mbah Mutamakkin dinikahkan dengan putrinya Nyai Qodimah.
Mbah Mutamakkin memiliki putra yaitu Nyai Alfiyah Godeg, Kiai Bagus, Kiai Endro Muhammad. Putra kedua, Kiai Bagus kemudian bertempat tinggal di Jawa Timur. Di negeri orang tersebut, Kiai Bagus memiliki keturunann antara lain KH Hasyim Asyari (Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang), dan K.H Bisri Syamsuri (Pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang). Keduanya ini adalah kakek Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Sedangkan Alfiyah dan Endro tetap tinggal di kajen. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, banyak keturunan Mbah Mutamakkin yang mendirikan sejumlah pondok pesantren (Ponpes) di Kajen. Misalnya pada tahun 1900, Kiai Nawawi putra KH Abdullah mendirikan Ponpes Kulon Banon atau Taman Pendidikan Islam Indonesia (TPII). Pesantren ini adalah Pospes tertua di Desa Kajen.
Menyusul kemudian, KH Ismail mendirikan Ponpes Raudhatul Ulum (PPRU), Tahun 1902, KH Siraj, putra KH Ishaq mendirikan Ponpes Wetan Banon yang kemudian dikenal dengan Ponpes Salafiyah yang kemudian dilanjutkan oleh KH Baidhowi Siroj. Penamaan Kulon atau wetan banon ini didasarkan atas posisinya dari komplek pesarean Mbah Mutamakkin yang dikelilingi tembok besar (banon).
Sekitar tahun 1910, K.H Abdussalam (Mbah Salam), saudara Mbah Nawawi, mendirikan pesantren di bagian Barat Desa Kajen yang dinamakan Popes Pologarut. Dalam perkembangannya menjadi Ponpes Maslakhul Huda Polgarut Putra (PMH Putra) dan Polgarut Selatan (PMH Pusat).
Murid dari Mbah Mutamakkin sangat banyak. Di antranya Mbah Ronggokusumo, Kiai Mizan, dan Kiai Shaleh. Mbah Ronggo putra kiai ageng Meruwut, yang masih keponakan Mbah Mutamakkin. Dia ditugaskan di Ngemplak.
Peninggalan Arkeologis
Pesarean (makam) Mbah Mutamakkin berada di Desa Kajen, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati. Tepatnya 18 kilometer ke arah utara Kota Pati.
Salah satu peninggalan beliau adalah sebuah masjid yang klasik. Masjid Kajen, orang setempat menyebutnya. Masjid tersebut terbilang unik. Pasalnya, hampir seluruh bagiannya terbuat dari kayu jati.
Walaupun pernah dipugar beberapa kali, namun dua saka (tiang) yang berada paling depan yang disebut “saka nganten,” dan dua buah pintu yang berada di sebelah utara dan selatan masih tetap utuh.
Seperti umumnya masjid jami’, di Masjid Kajen juga terdapat sebuah mimbar. Mimbar yang diyakini buah karya Mbah Mutamakkin penuh dengan ornament yang tinggi seninya. Banyak penafsiran tentang ornament tersebut. Misalnya bulan sabit yang dipatok burung bangau. Artinya: semangat dan do’a akan snggup untuk menggapai cita-cita yang mulia.
Pada mimbar juga terdapat sebuah ukiran berbentuk kepala naga yang berjumlah dua, yakni sebelah kanan dan kiri mimbar. Ada juga yang mempercayai dua kepala naga tersebut adalah naga milik Aji Saka (Tokoh legenda sejarah masuknya Islam di Tanah Jawa yang dianggap juga seletak penanggalan tahun saka).
Selain masjid, terdapat juga peninggalan berupa sumur Mbah Mutamakkin yang berada di Desa bulumanis. Air tersebut tidak berasa tawar meskipun berjarak sekitar satu kilometer dari laut.

Asal Usul Desa cebolek

Dahulu kala, ada seorang ulama muda berasal dari Tuban. Namanya adalah Mutamakkin. Suatu hari dia berdiri di tepi pantai, dan melihat cahaya yang terang dari barat. Dia menjadi menjadi penasaran, masak ditengah laut ada cahaya yang sangat terang? keesokan harinya, dia berpamitan pada orang tuanya untuk mencari sumber cahaya tersebut. Dengan menumpang kapal, dia mencari sumber cahaya tersebut. Malangnya, ditengah laut terjadi badai yang sangat besar. Nahkoda kapal meminta semua penumpang kapal untuk berdoa.
” Bulan ini belum musim angin dan badai, tapi kenapa laut seolah marah? Marilah kita semua berdoa kepada yang Maha Kuasa agar kita selamat sampai tujuan.”
Setelah bebebrapa saat berdoa, tiba-tiba ada salah satu penumpang kapal yang berkata:
“Saya baru saja mendapat ilham dari Yang Maha Kuasa, ternyata kapal kita kelebihan muatan, sehingga salah satu penumpang harus ada yang dibuang ke laut supaya laut tidak marah lagi dan kita selamat sampai tujuan.”
Tentu saja tidak ada satu pun penumpang kapal yang mau berkorban untuk di lempar ke laut.
“Baiklah, karena tidak ada yang mau berkorban, maka kita adakan undian saja. Barang siapa yang memperoleh gundu ini, maka dia yang harus dilempar ke laut.” kata Nahkoda kapal
Gundu untuk undian dilempar. Semua penumpang kapal bersorak, hanya seorang yang tidak ikut bersorak yaitu Mutamakkin, karena dia  yang mendapatkan gundu tersebut.
“Baiklah saudara-saudara sekalian, saya rela dibuang ke laut. Tapi saya ingin berdoa dahulu, setelah itu, barulah saya ikhlas kalian lempar kelaut.” kata Mutamakkin
Mutamakkin pun melaksanakan berdoa pada Allah
“Ya Allah, jika ini memang menjadi takdir-Mu, saya rela menjalaninya. Hanya kepada-Mu saya berserah diri. Engkaulah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ampunilah saya ya Allah.”
“Baiklah saudara-saudara, saya siap dilempar ke laut.” Kata Mutamakkin pasrah
“Satu…. dua… tiga….”
Byuuuuurrrrrr
Penumpang kapal yang lain bersorak ketika tubuh Mutamakkin jatuh kelaut.
Ajaib, ombak dan badai yang bergulung-gulung seketika menjadi reda. Laut pun menjadi tenang kembali.
Bagaimana dengan Mutamakkin? Apakah dia tenggelam? Apakah dia dimakan ikan hiu?
Ternyata, ketika Mutamakkin dilempar ke laut, Allah memberikan pertolongan dengan menyuruh seekor ikan Mladang, sejenis ikan gabus yang sangat besar, untuk menyelamatkan Mutamakkin yang pingsan. Berhari-hari ikan ini membawa Mutamakkin di dalam mulutnya. Akhirnya, si ikan memuntahkan Mutamakkin di pantai utara pulau jawa disebelah barat Tuban. Setelah beberapa saat kemudian banyak penduduk yang datang.
“Hai lihat kemari, ada manusia yang terseret ombak.” Kata salah seorang nelayan ditepi pantai
“Ayo kita tolong…..” kata yang lain
“Wah, ternyata sudah mati….”
Setelah itu, para nelayan mengerumuni Mutamakkin yang dikira sudah mati. Tiba-tiba, Mutamakkin siuman dan membuka mata.
“E…. Jebul-jebul melek!” seru para nelayan. Desa tempat terdamparnya Mutamakkin sampai saat ini disebut Tjebolek atau Cebolek, dari kata Jebul-jebul melek (tiba-tiba membuka mata).
“Saya berada dimana?” Tanya Mutamakkin
“Ki sanak diselamatkan dari laut oleh seekor ikan mladang. Kemudian ki sanak di lepeh (muntahkan) disini.” Kata nelayan.
Karena haus, maka Mutamakkin menancapkan tongkatnya di pantai, sehingga mengalir air sumur yang tidak asin. Sampai sekarang sumurnya bernama sumur KH Ahmad Mutamakkin, dan terletak di desa Bulumanis.
“Maaf ki sanak, saya berasal dari Tuban, nama saya Mutamakkin. Saya sedang berlayar mencari cahaya yang sangat terang yang telihat sampai Tuban. Apakah ki sanak ada yang tahu dari mana asal cahaya tersebut berasal?” Tanya Mutamakkin
“Wah… kami tidak tahu ki sanak, coba ki sanak berjalan saja kearah barat. Semoga ki sanak menemukan cahaya yang ki sanak cari.”
Mutamakkin meneruskan langkah menuju arah barat dari pantai tersebut. Setelah berjalan lebih dari setengah hari, sampailah dia di depan sebuah rumah yang sangat kokoh, berdinding kayu dan beratap rumbia. Lantainya lebih tinggi dari jalan di depannya. Semacam rumah panggung. Disekitar rumah itu terdapat rimbunan pohon resulo (sagu) yang tumbuh subur. Di depan rumah tampak seorang laki-laki sedang duduk.
“Selamat sore, saya adalah seorang pengembara yang tersesat, nama saya Mutamakkin.” Kata Mutamakkin memperkenalkan diri
“Selamat datang ki sanak, silahkan mampir ke gubug saya. Mengaso sajalah dulu di sini. Kalau mau melanjutkan perjalanan, besok pagi saja. Karena jalan disini masih berupa hutan belantara.” Kata laki-laki tersebut

Akhirnya Mutamakkin menginap dirumah panggung tersebut. Laki-laki pemilik rumah tersebut bernama Haji Syamsudin. Beliaulah satu-satunya Haji didesa itu, sehingga desanya disebut Kajen (Kaji Ijen, satu-satunya yang sudah berhaji).
Setelah beberapa lama menetap di desa Kajen, Mutamakkin menyunting putrid dari Haji Syamsudin, dan membuka pesantren.

sumber: Diah Chamidiyah

cah mbolek

 | 

Entri Populer



 
powered by louteng